NAMA NPM
EKA MIRATUL KHASANAH 22212411
MITHA FILANDARI 24212612
PUTRI MARYAM ANGGRAENI 25212773
WIWIT TRI CHAHYANI 27212761
KELAS : SMAK06-3
ANALISIS PENGARUH AFTA TERHADAP INDUSTRI SEKTOR RIIL & SEKTOR TENAGA KERJA
Asean Free Trade Area (AFTA)
adalah bentuk dari kerjasama perdagangan dan ekonomi di wilayah ASEAN yang
berupa kesepakatan untuk menciptakan situasi perdagangan yang seimbang dan adil
melalui penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tariff
(bea masuk 0 – 5 %) maupun hambatan non tariff bagi negara-negara anggota
ASEAN.
AFTA disepakati pada tanggal 28
Januari 1992 di Singapura. Pada
awalnya ada enam negara yang menyepakati AFTA, yaitu: Brunei Darussalam, Indonesia,Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Vietnam bergabung dalam AFTA tahun1995, sedangkan Laos dan Myanmar pada tahun 1997, kemudian Kamboja pada tahun 1999.
Tujuan AFTA adalah meningkatkan
daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis
produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan
antar anggota ASEAN. Dalam kesepakatan, AFTA direncanakan berpoerasi penuh pada
tahun 2008 namun dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun 2003.
Mekanisme utama untuk mencapai
tujuan di atas adalah skema “Common Effective Preferential Tariff” (CEPT) yang
bertujuan agar barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN yang
memenuhi ketentuan setidak-tidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai tarif
hanya 0-5 %. Anggota ASEAN mempunyai tiga pengecualian CEPT dalam tiga
kategori :
(1) pengecualian sementara,
(2) produk pertanian yang
sensitif
(3) pengecualian umum lainnya
(Sekretariat ASEAN 2004)
Untuk kategori pertama,
pengecualian bersifat sementara karena pada akhirnya diharapkan akan memenuhi
standar yang ditargetkan, yakni 0-5 %. Sedangkan untuk produk pertanian
sensitif akan diundur sampai 2010. Dapat disimpulkan, paling lambat 2015 semua
tarif di antara negara ASEAN diharapkanmencapai titik 0 %.
AFTA dicanangkan dengan
instrumen CEPT, yang diperkenalkan pada Januari 1993. ASEAN pada 2002,
mengemukakan bahwa komitmen utama dibawah CEPT-AFTA hingga saat ini meliputi 4
program, yaitu :
1.
Program pengurangan tingkat tarif yang secara efektif sama di antara negara- negara
ASEAN hingga mencapai 0-5 persen.
2.
Penghapusan hambatan-hambatan kuantitatif (quantitative restrictions) dan
hambatan-hambatan non-tarif (non tariff barriers).
3.
Mendorong kerjasama untuk mengembangkan fasilitasi perdagangan terutama di
bidang bea masuk serta standar dan kualitas.
4. Penetapan kandungan lokal
sebesar 40 persen.
Untuk Indonesia, kerjasama AFTA
merupakan peluang yang cukup terbuka bagi kegiatan ekspor komoditas pertanian
yang selama ini dihasilkan dan sekaligus menjadi tantangan untuk menghasilkan
komoditas yang kompetitif di pasar regional AFTA.
Upaya ke arah itu, nampaknya
masih memerlukan perhatian serta kebijakan yang lebih serius dari pemerintah
maupun para pelaku agrobisnis, mengingat beberapa komoditas pertanian Indonesia
saat ini maupun di masa yang akan datang masih akan selalu dihadapkan pada
persoalan-persoalan dalam peningkatan produksi yang berkualitas, permodalan,
kebijakan harga dan nilai tukar serta persaingan pasar di samping iklim politis
yang tidak kondusif bagi sektor pertanian.
Diharapkan dengan
diberlakukannya otonomi daerah perhatian pada sektor agribisnis dapat menjadi
salah satu dorongan bagi peningkatan kualitas produk pertanian sehingga lebih
kompetitif di pasar lokal, regional maupun pasar global, dan sekaligus
memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional maupun peningkatan
pendapatan petani dan pembangunan daerah.
Secara umum, situasi ekonomi
Indonesia sangat sulit. Perdagangan Indonesia dalam kurun 2000-2002 melemah,
baik dalam kegiatan ekspor maupun impor. Kondisi ekonomi makro ditambah
stabilitas politik yang tidak mantab serta penegakan hukum dan keamanan yang
buruk ikut mempengaruhi daya saing kita dalam perdagangan dunia.
Memang, secara umum, beberapa
produk kita siap berkompetisi. Misalnya, minyak kelapa sawit, tekstil,
alat-alat listrik, gas alam, sepatu, dan garmen. Tetapi, banyak pula yang akan
tertekan berat memasuki AFTA. Di antaranya, produk otomotif, teknologi
informasi, dan produk pertanian.
Dalam AFTA, peran negara dalam
perdagangan sebenarnya akan direduksi secara signifikan. Sebab, mekanisme tarif
yang merupakan wewenang negara dipangkas. Karena itu, diperlukan perubahan
paradigma yang sangat signifikan, yakni dari kegiatan perdagangan yang
mengandalkan proteksi negara menjadi kemampuan perusahaan untuk bersaing. Tidak
saja secara nasional atau regional dalam AFTA, namun juga secara global. Karena
itu, kekuatan manajemen, efisiensi, kemampuan permodalan, dan keunggulan produk
menjadi salah satu kunci keberhasilan.
Persoalan yang dihadapi oleh
Indonesia
Dalam menghadapi AFTA, Indonesia sebagai salah satu Negara
anggota ASEAN masih memiliki beberapa kendala yang menunjukan ketidaksiapan
kita dalam menghadapi AFTA, diantanya adalah; dari segi penegakan hukum, sudah
diketahui bahwa sektor itu termasuk buruk di Indonesia. Jika tak ada kepastian
hukum, maka iklim usaha tidak akan berkembang baik, yang mana hal tersebut akan
menyebabkana biaya ekonomi tinggi yang berpengaruh terhadap daya saing produk
dalam pasar internasional.
Faktor lain yang amat penting
adalah lembaga-lembaga yang seharusnya ikut memperlancar perdagangan dan dunia
usaha ternyata malah sering diindikasikan KKN. Akibat masih meluasnya KKN dan
berbagai pungutan yang dilakukan unsure pemerintah di semua lapisan, harga
produk yang dilempar ke pasar akan terpengaruhi. Otonomi daerah yang diharapkan
akan meningkatkan akuntabilitas pejabat publik dan mendorong ekonomi lokal
ternyata dipakai untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dari dunia usaha
tanpa menghiraukan implikasinya. Otonomi malah menampilkan sisi buruknya yang
bisa mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar dunia.
Persoalan lain yang harus
dihadapi adalah kenyataan bahwa perbatasan Indonesia sangat luas, baik berupa
lautan maupun daratan, yang sangat sulit diawasi. Akibatnya, terjadi banjir
barang selundupan yang melemahkan daya saing industri nasional. Miliaran dolar
amblas setiap tahun akibat ketidakmampuan menjaga perbatasan dengan baik.
Menurut taksiran kemampuan TNI-AL, sekitar 40 persen dari seharusnya digunakan
untuk mengamankan lautan akibat kekuarangan dana dan sarana yang lain. Kendala
utama bagi masyarakat Indonesia adalah mengubah pola pikir, baik di kalangan
pejabat, politisi, pengusaha, maupun tenaga kerja. Mengubah pola pikir ini
sangat penting bagi keberhasilan kita memasuki AFTA.
Namun, selain menghadapi
berbagai persoalan, AFTA jelas juga membawa sejumlah keuntungan. Pertama,
barang-barang yang semula diproduksi dengan biaya tinggi akan bisa diperoleh
konsumen dengan harga lebih murah. Kedua, sebagai kawasan yang terintegrasi
secara bersama-sama, kawasan ASEAN akan lebih menarik sebagai lahan investasi.
Indonesia dengan sumber daya alam dan manusia yang berlimpah mempunyai
keunggulan komparatif. Namun, peningkatan SDM merupakan keharusan. Ternyata,
kemampuan SDM kita sangat payah dibandingkan Filipina atau Thailand.
Berdasarkan peraturan
Pemerintah Nomer 63 tahun 1999, pihak asing dimungkinkan untuk mempunyai saham
hampir 99 persen. Jadi jika ingin menambah sahamnya, sedangkan partner lokalnya
tidak mampu, maka saham partner lokal menjadi terdivestasi.
Dampak AFTA
Ada banyak dampak suatu perjanjian perdagangan bebas, antara lain
spesialisasi dan peningkatan volume perdagangan. Sebagai contoh, ada dua negara
yang dapat memproduksi dua barang, yaitu A dan B, tetapi kedua negara tersebut
membutuhkan barang A dan B untuk dikonsumsi.
Secara teoretis, perdagangan bebas
antara kedua negara tersebut akan membuat negara yang memiliki keunggulan
komparatif (lebih efisien) dalam memproduksi barang A (misalkan negara pertama)
akan membuat hanya barang A, mengekspor sebagian barang A ke negara kedua, dan
mengimpor barang B dari negara kedua.
Sebaliknya, negara kedua akan
memproduksi hanya barang B, mengekspor sebagian barang B ke negara pertama, dan
akan mengimpor sebagian barang A dari negara pertama. Akibatnya, tingkat
produksi secara keseluruhan akan meningkat (karena masing-masing negara
mengambil spesialisasi untuk memproduksi barang yang mereka dapat produksi
dengan lebih efisien) dan pada saat yang bersamaan volume perdagangan antara
kedua negara tersebut akan meningkat juga (dibandingkan dengan apabila kedua
negara tersebut memproduksi kedua jenis barang dan tidak melakukan
perdagangan).
Saat ini AFTA sudah hampir
seluruhnya diimplementasikan. Dalam perjanjian perdagangan bebas tersebut,
tarif impor barang antarnegara ASEAN secara berangsur-angsur telah dikurangi. Saat ini tarif impor lebih dari 99 persen dari barang-barang
yang termasuk dalam daftar Common Effective Preferential Tariff (CEPT) di
negara-negara ASEAN-6 (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan
Thailand) telah diturunkan menjadi 5 persen hingga 0 persen.
Sesuai dengan teori yang
dibahas di atas, AFTA tampaknya telah dapat meningkatkan volume perdagangan
antarnegara ASEAN secara signifikan. Ekspor Thailand ke ASEAN, misalnya,
mengalami pertumbuhan sebesar 86,1 persen dari tahun 2000 ke tahun 2005.
Sementara itu, ekspor Malaysia ke negara-negara ASEAN lainnya telah mengalami
kenaikan sebesar 40,8 persen dalam kurun waktu yang sama.
Adanya AFTA telah memberikan
kemudahan kepada negara-negara ASEAN untuk memasarkan produk-produk mereka di
pasar ASEAN dibandingkan dengan negara-negara non-ASEAN. Untuk pasar Indonesia,
kemampuan negara-negara ASEAN dalam melakukan penetrasi pasar kita bahkan masih
lebih baik dari China. Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa pasar ekspor
negara ASEAN ke Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan
pangsa pasar China di Indonesia.
Pada tahun 2001 pangsa pasar
ekspor negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 17,6 persen. Implementasi AFTA
telah meningkatkan ekspor negara-negara ASEAN ke Indonesia. Akibatnya, pangsa
pasar ASEAN di Indonesia meningkat dengan tajam. Dan pada tahun 2005 pangsa
pasar negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 29,5 persen.
Berbeda dengan anggapan kita
selama ini bahwa ternyata daya penetrasi produk-produk China di Indonesia tidak
setinggi daya penetrasi produk-produk negara ASEAN. Pada tahun 2001 China
menguasai sekitar 6,0 persen dari total impor Indonesia. Pada tahun 2005 baru
mencapai 10,1 persen, masih jauh lebih rendah dari pangsa pasar negara-negara
ASEAN. Jadi, saat ini produk-produk dari negara ASEAN lebih menguasai pasar
Indonesia dibandingkan dengan produk-produk dari China.
Sebaliknya, berbeda dengan
negara-negara ASEAN yang lain, tampaknya belum terlalu diperhatikan potensi
pasar ASEAN, dan lebih menarik dengan pasar-pasar tradisional, seperti Jepang
dan Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari pangsa pasar ekspor kita ke
negara-negara ASEAN yang tidak mengalami kenaikan yang terlalu signifikan sejak
AFTA dijalankan. Pada tahun 2000, misalnya, pangsa pasar ekspor Indonesia di
Malaysia mencapai 2,8 persen. Dan pada tahun 2005 hanya meningkat menjadi 3,8
persen. Hal yang sama terjadi di pasar negara-negara ASEAN lainnya.
Produsen internasional tidak
harus mempunyai pabrik di setiap negara untuk dapat menyuplai produknya ke
negara-negara tersebut. Produsen internasional dapat memilih satu negara di
kawasan ini untuk dijadikan basis produksinya dan memenuhi permintaan produknya
di negara di sekitarnya dari negara basis tersebut. Turunnya tarif impor
antarnegara ASEAN membuat kegiatan ekspor-impor antarnegara ASEAN menjadi
relatif lebih murah dari sebelumnya. Tentunya negara yang dipilih sebagai
negara basis suatu produk adalah yang dianggap dapat membuat produk tersebut
dengan lebih efisien (spesialisasi).
Negara-negara di kawasan ini
tentunya berebut untuk dapat menjadi pusat produksi untuk melayani pasar ASEAN
karena semakin banyak perusahaan yang memilih negara tersebut untuk dijadikan
pusat produksi, akan semakin banyak lapangan kerja yang tersedia. Sayangnya, Indonesia
tampaknya masih tertinggal dalam menciptakan daya tarik untuk dijadikan pusat
produksi.
Kesiapan Indonesia
Infrastruktur
dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai belum siap menghadapi ASEAN
Free Trade Area (AFTA) atau pasar bebas ASEAN mulai 2015.“Kita semua tahu bagaimana kualitas SDM dan infrastruktur kita,
padahal pasar bebas ASEAN itu tidak lama lagi,” kata pengamat politik ekonomi
internasional UI, Beginda Pakpahan, di Jakarta. Ia mengatakan pada dasarnya FTA
(Free Trade Area) sangat potensial untuk memperluas jejaring pasar sekaligus
menambah insentif, karena tidak adanya lagi pembatasan kuota produk.[1]
Namun, bagi Indonesia bukan
melulu keuntungan, sebab FTA juga bisa menjadi ancaman bila pemerintah RI tidak
mempersiapkan SDM dan infrastruktur dalam negeri. Dampak terburuk justru
mengancam masyarakat lapisan paling bawah, seperti petani gurem dan pedagang
kecil. Saat ini Indonesia setidaknya berada di peringkat keenam di ASEAN di
luar negara-negara yang baru bergabung (Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar).
Selain SDM, infrastruktur di
tanah air juga belum mendukung untuk menghadapi AFTA. Indonesia harus bisa
menjadi pengelola atau tidak melulu menjadi broker atau mediator dalam
perdagangan bebas. Agenda terdekat menjelang era pasar bebas, Indonesia harus
bisa membenahi dan menyelesaikan kepemimpinan nasional, mewujudkan “good
corporate governance“, dan membenahi birokrasi sekaligus memberantas
korupsi. Selain itu, DPR juga harus sejalan dengan pemerintah dalam masa-masa
krisis dan membenahi jajaran TNI/POLRI.
Yang harus dilakukan Indonesia
agar dapat dengan baik menghadapi AFTA dan dapat bersaing dengan Negara-negara
lain di dalamnya adalah :
1.
Pemantapan
Organisasi Pelaksanaa AFTA
AFTA
sebagai suatu kegiatan baru dalam kerjasama ASEAN harus didukung oleh
struktur organisasi yang kuat agar pelaksanaannya dapat berjalan
sebagaimana
mestinya. Struktur organisasi yang kuat sangat diperlukan karena
AFTA harus dilaksanakan dengan baik, adil dan terarah sehingga dapat
dimanfaatkan secara maksimal dan merata. Juga diperlukan pengawasan yang ketat
untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kecurangan dalam pelaksanaan
perdagangan yang akan merugikan negara tertentu.
1.
Promosi
dan Penetrasi Pasar
Kenyataan menunjukkan bahwa volume perdagangan Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, adalah nomor dua terkecil
setelah Filipina, sedangkan volume perdagangan Indoensia dengan Singapura hanya
5,1 persen dari seluruh perdagangan intra-ASEAN. Keadaan tersebut
terutama disebabkan oleh komoditas ekspor Indonesia belum banyak
dikenal oleh negara-negara ASEAN. Karena itu, keikutsertaan dalam pameran
perdagangan internasional perlu ditingkatkan. Peningkatan kunjungan dagang
sangat besar pula artinya dalam melakukan promosi dan penetrasi pasar hasil
produksi Indonesia.
1.
Peningkatan
Efisiensi Produksi Dalam Negeri
Untuk meningkatkan efisiensi
produksi dalam negeri, perlu diciptakan kondisi persaingan yang sehat di antara
sesama pengusaha agar tidak terdapat “distorsi harga” bahan baku. Di samping
itu, biaya-biaya non produksi secara keseluruhan dapat ditekan. Dalam kaitan
ini, kebijakan deregulasi yang telah dijalankan Pemerintah sejak beberapa tahun
yang lalu perlu terus dilanjutkan dan diperluas kepada sektor-sektor riil yang
langsung mempengaruhi kegiatan produksi dan selanjutnya perlu diusahakan agar
pemberian fasilitas-fasilitas yang cenderung menciptakan kondisi monopoli dalam
pengelolaan usaha perlu dihilangkan.
1.
Peningkatan
Kualitas Sumberdaya Manusia
Kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih jauh lebih
rendah dibandingkan kualitas sumberdaya manusia negara ASEAN lainnya. Oleh
karena itu, dalam rangka menghadapi AFTA, usaha-usaha untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia perlu lebih ditingkatkan dengan mengembangkan
sekolah kejuruan dan politeknik di masa mendatang.
1.
Perlindungan
Terhadap Industri Kecil
Pelaksanaan AFTA akan
mengakibatkan tingginya tingkat persaingan, sehingga hanya perusahaan besar
yang mampu terus berkembang. Perusahaan besar tersebut di-perkirakan terus
menekan industri kecil yang pada umumnya kurang mampu bersaing dengan para
konglomerat. Untuk melindungi industri kecil tersebut, perlu diwujudkan sebuah
undang-undang anti monopoli atau membentuk suatu organisasi pemersatu
perusahaan-perusahaan berskala kecil.
1.
Upaya
Meningkatkan Daya Saing Sektor Pertanian
Dalam upaya meningkatkan peran
ekspor sektor pertanian, perlu dikembangkan produk-produk unggulan yang mampu
bersaing di pasar, baik pasar domestik maupun pasar internasional. Pengembangan produk-produk unggulan dilaksanakan melalui
serangkaian proses yang saling terkait serta membentuk suatu sistem agribisnis
yang terdiri dari sistem pra produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran
(Kartasasmita, 1996).
KESIMPULAN
AFTA adalah bentuk dari Free Trade
Area di kawasan Asia Tenggara merupakan kerjasama regional dalam bidang ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan di antara
negara anggota melalui penurunan tarif beberapa komoditas tertentu, termasuk di
dalamnya beberapa komoditas pertanian, dengan tarif mendekati 0-5 persen. Inti
AFTA adalah CEPT (Common Effective Preferential Tariff),
yakni barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN yang memenuhi
ketentuan setidak-tidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai tarif hanya 0-5 %.
Sampai saat ini, CEPT masih merupakan hal yang sulit untuk
dijalankan oleh Negara-negara di ASEAN, hanya Singapura saja yang sudah dapat
mengurangi hambatan tarifnya sebesar 0 %, sedangakan Negara-negara ASEAN
lainnya masih berusaha untuk mencoba mengurangi hambatan tarifnya.
Indonesia sebagai Negara yang
menyetujui AFTA, sebentar lagi akan masuk ke dalam era perdagangan bebas,
sehingga bangsa ini akan bersaing dengan bangsa-bangsa ASEAN lainnya. Dengan
kondisi bangsa Indonesia dan perekonomian Indonesia saat ini, Indonesia dapat
dikatakan masih belum siap dalam menghadapi persaingan global. Sumber daya
manusia Indonesia dengan masih banyaknya masyarakat dengan tingkat pendidikan
dan keahlian yang minim membuat Indonesia diprediksikan akan kalah dalam
persaingan. Situasi politik dan hukum di Indonesia yang amat sangat tidak pasti
juga menambah jumlah nilai minus Indonesia dalam menghadapi AFTA
Hasil
survei Kementerian Perindustrian terhadap 624 perusahaan nasional menyebutkan,
akibat pemberlakuan AFTA, produksi enam sektor industri manufaktur prioritas
nasional mengalami penurunan produksi hingga 50% pada tahun 2010. Industri
elektronik yang tercakup di dalamnya mengalami penurunan produksi sebesar 25%.
Referensi :
http://andriaditya.wordpress.com/2007/06/21/indonesia-dan-afta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar